Perempuan antara Keluarga dan Karir....Wow...
Makhluk cantik itu bernama
perempuan, sebuah raga dan jiwa yang diciptakan disamping penciptaan laki-laki.
Perempuan dan Laki-laki keduanya sama-sama makhluk
penciptaan-Nya untuk mengisi
bumi ini.
"Saya seorang perempuan, belum
menikah, tapi bekerja". Coba bandingkan dengan kalimat " Saya seorang
laki-laki, belum menikah, tapi bekerja". Dan akan saya buat kalimat yang
lainnya...."Saya perempuan belum menikah, dan belum bekerja" dan coba
bandingkan dengan kalimat "Saya laki-laki, belum menikah, dan belum
bekerja." . Kira-kira apa respon anda terhadap pernyataan ini? tentu
berbeda-beda...namun pada umumnya akan bilang.."Laki-laki ya bekerja doonk
baru menikah" sementara untuk perempuan akan diberi nasihat "Udah
menikah aja ga usah pikirin tentang pekerjaan"....Kayanya keduanya keduanya berbeda posisi.
Saya lahir dari keluarga yang
ayah dan ibu saya bekerja, saya memiliki satu adik laki-laki yang berbeda umur
9 tahun dari saya..tepatnya kami berdua adalah produk dari orang-orang tua yang
cukup sibuk. Sejak kecil saya dan adik diasuh oleh seorang pengasuh yang
didampingi oleh nenek saya ataupun saudara. Semasa saya kecil ibu saya bekerja
di dua tempat.. pergi pagi dan pulang malam hari sampai usia saya masuk sekolah
dasar, setelah saya sekolah dasar, ibu saya bekerja hanya di satu tempat. Bisa
dibayangkan seperti apa kesibukan menjadi orang tua dalam hal mencukupi
kebutuhan rumah tangga, saya sangat menghargainya.
Berbeda lagi dengan adik saya, saat
umurnya 7 tahun ayah saya meninggal, Ibu saya menjadi orang tua tunggal. Keluarga
berbalik tidak mendukung keadaan keluarga kami, kami pun berpindah-pindah
tempat tinggal dan ibulah yang menjadi tulang punggung dalam keluarga.
Subhanallah Ibu saya J.
Saya bukannya ingin bercerita
tentang perjalanan keluarga saya namun saya ingin sharing tentang menjadi anak
dari wanita karir. Sebagai anak dari Ibu yang bekerja saya dan adik tahu betul
suka dukanya menjadi anak “woman career”.
Semasa kecil saya sering bermain
sendiri, belajar mengenali lingkungan sendiri, dan menghabiskan waktu dengan
tata cara yang saya sukai sendiri. Positifnya saya menjadi anak yang tidak
cengeng, mudah di titipkan di rumah saudara, tidak takut pada keadaan-keadaan
yang mengharuskan saya untuk sendiri, dan kreatif mengisi waktu saya sebagai
diri sendiri. Negatifnya saya yang berbeda usia jauh dengan adik saya (karena
program KB) mempunyai sifat manja dan sedikit kekanak-kanakan, sifat manja ini
berlanjut menjadi anak yang agak semaunya, apa-apa harus ada, dan tidak
mandiri. Apa-apa saya berteriak “Mbaaaaak…aku ambilin…(sesuatu)”. Beruntungnya
saat saya menginjak usia SMP Ibu saya memaksa saya untuk tinggal di pesantren.
Walhasil keadaan pesantren yang
berbeda jauh 180 derajat dengan di rumah membuat saya yang semula anak yang
bossy “..Mbaaaak…ambilkan (sesuatu)…” menjadi anak yang istilahnya tobat.
Contohnya…,masakan tidak enak di
pesantren mengajarkan saya menghargai akan
arti makanan-makanan sederhana, kehidupan penuh aturan di pesantren membuat
saya mengerti akan berbagai aturan, pekerjaan pekerjaan rumah yang sebelumnya
adalah suatu momok dan gengsi saya lakukan menjadi hal-hal lumrah untuk saya.
Pesantren secara ajaib mengubah saya selama 3 tahun. Tentunya ini menyenangkan
Ibu saya yang telah memaksa saya masuk pesantren.
Berbeda dengan adik saya, sejak
kecil Ia sama seperti saya diasuh oleh asisten rumah tangga di rumah namun
semenjak ayah saya meninggal, Ia berpindah-pindah pengasuh. Mula-mula, tante
saya di datangan dari medan untuk mengasuhnya..namun kemudian hanya berlangsung
2 tahun adik Ibu itu saya tidak betah, karena konon cerita bahwa anak-anak
yatim itu terkenal sebagai ujian bagi para pengasuhnya ternyata agak benar
adanya. Tante saya kembali ke medan. Adik saya dititipkan Ibu saya pada nenek
tiri saya di rumah kakek saya (dari pihak Ibu). Adik saya menjadi bintang perhatian
dari nenek saya, walhasil jadilah ia anak yang di manja saat itu..
Saat umurnya
menginjak SMP ibu saya memasukkannya ke pesantren di mana dahulu saya pernah
dimasukan, namun ternyata output yang dihasilkan berbeda…adik saya saat itu
menjadi “bintang” pesantren, menjadi santri “perhatian” ustad…dari
pesantren pusat ia dipindah ke cabang-cabang pesantren lain dalam rangka
penyadaran akan sikapnya yang suka kabur dari pesantren. Dalam hal pekerjaan
rumah dan kebiasaan agaknya perilaku adik saya tidak banyak berubah sekeluarnya
dari pesantren. Namun di usia memasuki SMA, adik saya beruntung menemukan pembimbing/
guru ngaji dari pengajian di sekitar rumah. Perilaku adik saya membaik dan menjadi
positif setelah banyak belajar tentang islam pada guru ngajinya. Sekarang adik
saya bahkan terkadang bisa menjadi lebih dewasa dari saya dalam berkata dan
bertindak.
Dari cerita itu saya menyadari bahwa
hidup disandarkan pada idealisme dan realitas..Di satu sisi, perempuan
diciptakan Allah sebagai makhluk yang sama dengan laki-laki, mempunyai
keinginan dan kebutuhan untuk mempertahankan eksistensinya. Disisi lainnya
bisnis utama/ kewajiban utama dari perempuan adalah keluarga (suami dan
anak-anak).
Saya kuarang sepakat bila ada yang
mengatakan “Bagi Ibu-ibu rumah tangga, memiliki uang mandiri adalah sesuatu”.
Hal itu terkesan menafikan peran perempuan untuk bisa berbuat lebih disamping
perannya dalam keluarga.
Memang banyak ibu-ibu karir temasuk
mungkin Ibu saya yang kemudian terjebak dalam dilemma karirnya. Antara
kebutuhan dan berada di tengah-tengah keluarga. Peran ibu memang sangat sentral
dalam keluarga, seperti mana seperti saya dan yang adik saya alami seandainya
saja tidak ada factor-faktor x (dari Allah) yang menolong kami, mungkin kami
menjadi orang-orang yang salah jalan.
Pendidikan dan pembentukan karakter
semasa kecil amat berpengaruh membentuk perilaku anak saat dewasa. Saya sendiri
berkaca pada pengalaman saya, saya ingin jika berkeluaga nanti membimbing
anak-anak saya sebagai anak-anak yang mandiri sedari kecil, tidak seperti saya
pada waktu kecil. Membimbing anak-anak
saya menjadi anak yang bisa berdisiplin dengan dirinya sendiri tidak seperti
saya di waktu kecil yang sering membuat aturan saya sendiri dan banyak hal
lainnya yang merupakan kekurangan saya dimasa kecil. Namun saya juga tidak ingin anak-anak saya
nantinya tidak belajar dari saya bahwa sebagai seorang wanita harus memiliki
eksistensi dan kaki untuk bisa berdiri sendiri dan bermanfaat bagi orang lain.
Nah lho, itu dilemma pribadi saya dan
pastinya saya akan berfikir mencari jalan tengahnya dengan menemukan seorang
pendamping yang bisa mengerti akan ketidaksederhanaan pengertian saya yang sederhana…
Intinya akan saya tutup bahwa…Hidup
ini memiliki banyak pilihan dan jalan yang bisa ditempuh, be flexible…jadilah
pribadi sebaik-baiknya menurut pandangan kita masing-masing dan keluarga…